Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh
atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence
mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Sedangkan aliran kontemporer membatasi usia remaja antara
11 hingga 22 tahun. Masa
remaja merupakan periode pencarian
identitas diri, sehingga remaja sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan. Kita telah mengetahui bahwa pada peristiwa pengeboman Hotel
Marriot dan Ritz Carlton, Juli 2009, pelakunya adalah remaja lulusan SMA yang mau melakukan aksi
tersebut karena telah didoktrin jalan tersebut adalah jihad. Hal ini menjadi
salah satu bukti bahwa usia remaja merupakan masa yang paling labil dalam
melakukan semua
hal baru.
Perkembangan teknologi telah memberi kemudahan dalam mengakses
semua data yang bisa
menjadi anugerah
maupun bencana dalam kehidupan tergantung bagaimana pemanfaatannya. Seorang
pakar dan guru besar tentang komunikasi massa berkebangsaan Belanda, Denis McQuail,
dalam salah satu bukunya menulis tentang pengaruh media dan ciri-ciri utama
komunikasi masa. Media menjangkau lebih banyak orang dibandingkan dengan institusi-institusi lainnya. Bahkan media massa sudah sejak dahulu telah
“mengambil alih” peranan sekolah, orang tua, agama dan lain-lain.
Disisi lain, globalisasi telah menyebabkan berbagai budaya daerah semakin memudar dan terpinggirkan oleh
budaya-budaya
barat yang masuk ke Indonesia.
Hal ini
dikarenakan, budaya
barat dapat merusak budaya Indonesia dan mengakibatkan pembentukan kepribadian yang kurang baik
akibat dari pergeseran nilai-nilai kebudayaan yang ada. Padahal budaya mempunyai peranan penting
dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat sehingga
sangat penting bagi kita untuk terus mempertahankan kebudayaan timur yang sopan
dan lemah lembut serta beradab.
Budaya
populer lebih sering disebut budaya pop adalah apapun yang terjadi di
sekeliling kita setiap harinya. Namun sejalan dengan perkembangn media massa
yang begitu pesat dan tidak terbatas budaya populer lebih di identikkan dengan budaya yang mempunyai nilai
negatif karena telah membawa
nilai negatif
bagi kehidupan remaja.
Melihat
fenomena diatas sangat disayangkan apabila perkembangan media massa yang
seharusnya memudahakan akan tetapi disalahgunakan oleh anak muda. Padahal anak muda merupakan
asset suatu bangsa terhadap perkembangan bangsa kedepan. Budaya Nasional dan
budaya daerah Indonesia harus dilestarikan oleh
para remaja dan tidak memandang sebelah mata terhadap budaya Nasional.
Berdasarkan permasalahan tersebut, kami menyarankan agar
dilakukan Six Model Integrated (SEMI) yaitu
melalui:
(a) Peran dari orang tua dengan memberi contoh yang baik, selalu
mengembangkan character building yaitu membangun jiwa anak dengan sifat
yang penuh dengan nilai-nilai budi pekerti (b) Peran sekolah sebagai rumah kedua bagi anak dalam membentuk karakter positif yaitu menciptakan kultur sekolah yang
relevan dengan perkembangan psikis remaja. Misalnya, pendidikan nir-kekerasan, menghindarkan murid pada
budaya mencontek, memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi serta membentuk pembelajaran yang bertanggung jawab (c) Memberikan pendidikan etika/ moral secara
teoritis,
pendidikan pancasila/kewarganegaraan
dan agama yang memuat nilai-nilai moral yang saat ini terkesan mulai kurang diminati. (d) Kebijakan pemerintah dalam penanganan kenakalan remaja bersama semua pihak, termasuk pemerintah karena “Anak-anak memiliki generasi dan
dunianya sendiri” (Kahlil
Gibran) (e) Adanya seleksi yang ketat terhadap
tayangan TV yang sifatnya “inspiring” dan “mendidik” dengan
tujuan turut membangun karakter bangsa.
(DR. Rhenald Kasali) (f) Pemerintah menyaring situs–situs
yang bisa membahayakan anak muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar